Rabu, 05 September 2012

Hakikat Maaf

Maaf adalah kata yang sering hadir di penghujung sebuah konflik. Meminta maaf dan memaafkan merupakan salah satu amalan yang mulia di hadapan Allah SWT. Semulia-mulianya orang yang meminta maaf, lebih mulia lagi orang yang memaafkan sebelum yang bersangkutan minta maaf.

Maaf-maafan lebih ramai dan dilakukan secara jamaah ketika menjelang Ramadhan atau sesudahnya, yakni pada saat merayakan Idul Fitri. Ketika memasuki Ramadhan, berseliweran permohonan maaf via sms, facebook, BBM, dan jejaring social lainnya. Tak kalah hebatnya, saat Idul fitri tiba, maaf menjadi kata pamungkas yang dipinta setiap insan terhadap sesamanya.

Tak afdhal rasanya jika di hari yang fitri itu tidak mengucapkan maaf. Tentunya kita semua mafhum, bahwa dengan maaf yang kita raih akan membawa kita pada kehidupan yang fitri, suci lahir bathin. Lalu, bagaimana sebenarnya maaf itu harus hadir dalam kehidupan kita? Apakah maaf yang terucap oleh lisan sudah cukup untuk menghapus luka dari hati yang pernah tersakiti?

Permohonan maaf hendaknya bukan sekedar suara dari gerakan bibir. Akan tetapi ia harus lahir sebagai suara hati yang paling dalam. Maaf yang hanya sebatas lisan akan sangat berbeda dengan maaf yang tulus dari hati. Meski keduanya dilisankan oleh lidah, namun akan nampak berbeda pada sikap yang menyertainya ketika maaf itu dilafalkan.

Lalu bagaimana seharusnya maaf dimaknai agar mampu memberikan dampak positif setelah diucapkan? Meski sebenarnya manusia tak pernah luput dari kekhilafan dan kesalahan, selayaknya maaf tidak menjadi alasan untuk melakukan kesalahan yang sama, atau membuat kasus berbeda yang mengharuskan maaf terucap kembali.

Sejatinya kata maaf itu cukup sekali diucapkan disertai janji yang lahir dari lubuk hati terdalam, melalui niatan suci yang kokoh untuk tidak menyakiti kembali yang telah terluka, yang padanya kita meminta maaf. Suatu ikrar yang tidak harus dilafalkan, namun harus lahir sebagai kebulatan tekad untuk mengganti kesalahan dengan kebaikan yang tidak pernah putus. Kehati-hatian untuk menjaga agar kesalahan itu tidak terulang merupakan bukti upaya mewujudkan perdamaian yang abadi.

Apalah artinya meminta maaf jika kemudian kita menyakiti kembali orang yang sama meski dengan perbuatan salah yang berbeda? Apalah arti jabatan tangan yang erat disertai tangisan tersedu-sedu disaat meminta maaf jika kemudian kita meneteskan kembali air mata orang yang tersakiti? Lalu apa makna pelukan dan dekapan hangat jika kemudian tidak ada niatan tulus untuk mengganti kesalahan dengan kebaikan setelahnya?

Meminta maaflah pada saudaramu karena engkau telah menyakiti dan membuatnya kecewa dan sedih, meminta maaflah padaNYA karena telah melukai hati hambaNYA, dan jangan lupa meminta maaflah pada dirimu karena engkau telah melakukan kesalahan yang menyebabkan dirimu dicela oleh malaikat dan Tuhanmu. Maka maafkanlah jika engkau merasa pernah tersakiti. Maafkanlah sebelum kata itu dia lafalkan untukmu. Dengan begitu, engkau telah menjaga perdamaian dan menjaga kemuliaanmu di hadapanNYA. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung.... Silahkan memberikan kritikan dan saran untuk perbaikan... ,, ^_^