Maaf adalah kata yang sering hadir di penghujung sebuah
konflik. Meminta maaf dan memaafkan merupakan salah satu amalan yang mulia di
hadapan Allah SWT. Semulia-mulianya orang yang meminta maaf, lebih mulia lagi
orang yang memaafkan sebelum yang bersangkutan minta maaf.
Maaf-maafan lebih ramai dan dilakukan secara jamaah ketika
menjelang Ramadhan atau sesudahnya, yakni pada saat merayakan Idul Fitri. Ketika
memasuki Ramadhan, berseliweran permohonan maaf via sms, facebook, BBM, dan
jejaring social lainnya. Tak kalah hebatnya, saat Idul fitri tiba, maaf menjadi
kata pamungkas yang dipinta setiap insan terhadap sesamanya.
Tak afdhal rasanya jika di hari yang fitri itu tidak
mengucapkan maaf. Tentunya kita semua mafhum, bahwa dengan maaf yang kita raih
akan membawa kita pada kehidupan yang fitri, suci lahir bathin. Lalu, bagaimana
sebenarnya maaf itu harus hadir dalam kehidupan kita? Apakah maaf yang terucap oleh
lisan sudah cukup untuk menghapus luka dari hati yang pernah tersakiti?
Permohonan maaf hendaknya bukan sekedar suara dari gerakan
bibir. Akan tetapi ia harus lahir sebagai suara hati yang paling dalam. Maaf
yang hanya sebatas lisan akan sangat berbeda dengan maaf yang tulus dari hati.
Meski keduanya dilisankan oleh lidah, namun akan nampak berbeda pada sikap yang
menyertainya ketika maaf itu dilafalkan.
Lalu bagaimana seharusnya maaf dimaknai agar mampu
memberikan dampak positif setelah diucapkan? Meski sebenarnya manusia tak
pernah luput dari kekhilafan dan kesalahan, selayaknya maaf tidak menjadi
alasan untuk melakukan kesalahan yang sama, atau membuat kasus berbeda yang
mengharuskan maaf terucap kembali.
Sejatinya kata maaf itu cukup sekali diucapkan disertai
janji yang lahir dari lubuk hati terdalam, melalui niatan suci yang kokoh untuk
tidak menyakiti kembali yang telah terluka, yang padanya kita meminta maaf.
Suatu ikrar yang tidak harus dilafalkan, namun harus lahir sebagai kebulatan
tekad untuk mengganti kesalahan dengan kebaikan yang tidak pernah putus.
Kehati-hatian untuk menjaga agar kesalahan itu tidak terulang merupakan bukti
upaya mewujudkan perdamaian yang abadi.
Apalah artinya meminta maaf jika kemudian kita menyakiti
kembali orang yang sama meski dengan perbuatan salah yang berbeda? Apalah arti
jabatan tangan yang erat disertai tangisan tersedu-sedu disaat meminta maaf
jika kemudian kita meneteskan kembali air mata orang yang tersakiti? Lalu apa
makna pelukan dan dekapan hangat jika kemudian tidak ada niatan tulus untuk
mengganti kesalahan dengan kebaikan setelahnya?
Meminta maaflah pada saudaramu karena engkau telah menyakiti
dan membuatnya kecewa dan sedih, meminta maaflah padaNYA karena telah melukai
hati hambaNYA, dan jangan lupa meminta maaflah pada dirimu karena engkau telah
melakukan kesalahan yang menyebabkan dirimu dicela oleh malaikat dan Tuhanmu.
Maka maafkanlah jika engkau merasa pernah tersakiti. Maafkanlah sebelum kata
itu dia lafalkan untukmu. Dengan begitu, engkau telah menjaga perdamaian dan
menjaga kemuliaanmu di hadapanNYA. Wallahu’alam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.... Silahkan memberikan kritikan dan saran untuk perbaikan... ,, ^_^