Beberapa waktu yang lalu, seorang teman menelpon ingin minta tolong. Intinya, dia membutuhkan sebuah barang elektronik sebagai alat untuk memudahkan tugas dan pekerjaanya. Maka teman tadi meminta untuk menggunakan nama saya sebagai penjamin. Kebetulan saya pernah menjadi pelanggan pada beberapa perusahaan pembiayaan (Leasing) dimana saya membeli beberapa barang elektronik karena saya tidak memiliki dana cash (tunai) untuk membayarnya (astghfirullah).
Setelah tahu hukumnya, meskipun saya belum bisa menjelaskan dengan rinci, saya pun kemudian tidak
pernah memenuhi permintaan teman saya itu. Mengapa, karena hukumnya akan sama jika kemudian saya merekomendasikan orang lain untuk melakukan satu kesalahan. Meskipun saya tidak melakukannya, saya tetap mendapatkan ganjaran dosa yang sama, apalagi yang terkait dengan riba.
pernah memenuhi permintaan teman saya itu. Mengapa, karena hukumnya akan sama jika kemudian saya merekomendasikan orang lain untuk melakukan satu kesalahan. Meskipun saya tidak melakukannya, saya tetap mendapatkan ganjaran dosa yang sama, apalagi yang terkait dengan riba.
Untuk itu, agar semuanya menjadi jelas, maka saya berusaha mencari jawaban yang bisa memberikan keterangan yang rinci, jelas dan akurat mengenai kasus tersebut diatas. Alhamdulillah, saya menemukan jawaban itu dari seorang ustadz yang mengisi ruang konsultasi pada web pengusahamuslim.com. Berikut keterangan selengkapnya:
Hukum Kredit Langsung
Kredit
yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli merupakan
transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syariat. Bahkan meskipun harga beli
kredit lebih tinggi dibandingkan harga harga beli tunai. Inilah pendapat yang
paling kuat, yang dipilih oleh mayoritas ulama. Kesimpulan hukum ini
berdasarkan beberapa dalil berikut:
Pertama,
firman Allah,
">يَآأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Akad
kredit termasuk salah satu bentuk jual beli utang. Dengan demikian, keumuman
ayat ini menjadi dasar bolehnya akad kredit.
Kedua,
hadis dari Aisyah radhialahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran
diutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya. (Muttafaqun ‘alaih)
Ketiga,
hadis Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan pasukan,
sedangkan kita tidak memiliki tunggangan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan Abdullah bin Amr bin ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan
pembayaran tertunda, hingga datang saatnya penarikan zakat. Kemudian Abdullah
bin Amer bin Ash membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan
dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
dan dihasankan oleh Al-Albani).
Kisah
ini menunjukkan, boleh menaikkan harga barang yang dibayar secara kredit,
bahkan meskipun dua kali lipat dari harga normal.
Adapun
hadis yang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan jual beli dua kali dalam
satu transaksi maka dia hanya boleh mengambil harga yang paling rendah, kalau
tidak, maka dia terjatuh ke dalam riba.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan
dishahihkan Al-Albani)
Hadis
ini shahih, namun tafsir yang tepat adalah sebagaimana yang dijelaskan Ibnul
Qayyim dan lainnya, bahwa hadis ini merupakan larangan jual beli dengan cara
‘inah.
Jual
beli ‘Inah adalah si A menjual HP kepada si B seharga Rp 1,2 juta kredit.
Kemudian si B menjual kembali HP itu kepada A seharga 1 juta tunai.
Kemudian si A menyerahkan uang 1 juta kepada si B dan membawa HP tersebut.
Sementara si B wajib membayar cicilan utang 1,2 juta kepada si A.
Hukum Kredit Segitiga
Agar
lebih mudah memahami hukum kredit model ini, mari kita simak ilustrasi berikut:
Dalam
sebuah showroom dealer sepeda motor, dipajang sebuah motor dengan harga 10 juta
tunai dan 17 juta kredit. Datang pak Ahmad hendak membeli motor dengan
pembayaran dicicil (kredit). Setelah deal transaksi, beliau akan diminta mengisi
formulir plus tanda tangan, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan,
serta uang muka.
Setelah
akad jual-beli ini selesai dan pembeli-pun membawa pulang motor yang dibeli,
selanjutnya beliau berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor ke bank atau
lembaga pembiayaan, dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan transkasi dan
menerima motor yang dibeli.
Keberadaan
dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa Pak Ahmad
harus membayarkan cicilannya ke bank atau lembaga pembiayaan, bukan ke dealer
tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya
sederhana, karena Bank atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan
bisnis dengan pihak dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit,
maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekwensinya
pembeli secara otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima
cicilannya. Praktik semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu
memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada
dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syariat. Akan tetatpi permasalahannya
menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu
transaksi. Bila kita mencermati kredit segitiga yang dicontohkan di atas, dapat
dipahami dari dua sudut pandang:
Pertama,
Bank mengutangi pembeli motor tersebut Rp 10 juta, dalam bentuk Bank langsung
membayarkannya ke dealer. Kemudian pak Ahmad dituntut untuk melunasi cicilan
piutang Rp 17 juta tersebut ke bank.
Bila
demikian yang terjadi, maka transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba
jahiliyyah). Tujuh juta yang menjadi tambahan adalah riba yang diserahkan ke
bank. Hukum transaksi ini terlarang, sebagaimana ancaman dalam hadis dari
sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau juga
bersabda: “Mereka semua dosanya sama.” (HR. Muslim)
Kedua,
Bank membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pak
Ahmad. Hanya saja bank sama sekali tidak menerima motor tersebut. Bank hanya
mentransfer sejumlah uang seharga motor tunai, kemudian pembeli membayar
cicilan ke bank. Bila realita bank membeli motor ini benar, maka Bank telah
menjual motor yang dia beli sebelum menerima motor tersebut. Sehingga Bank atau
lembaga pembiayaan telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung
dituliskan atas nama pembeli, dan bukan atas nama bank yang kemudian dibalik
nama ke pembeli.
Kesimpulannya
Hakikat
perkreditan segitiga ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang
jelas-jelas diharamkan dalam syariat. Larangan menjual barang sebelum menerima
dari pembeli pertama, ditunjukkan dalam hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga
ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Dan saya berpendapat bahwa
segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat
Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan pendapat Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu
sebagaimana ditunjukkan dalam hadis berikut,
Dari
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan: “Suatu ketika, saya membeli minyak
di pasar. Setelah saya membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan
menawar minyak tersebut. Kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak,
maka aku pun menerimanya. Tatkala aku hendak menyalami tangannya, tiba-tiba ada
seseorang di belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan
ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Kemudian ia berkata, ‘Janganlah engkau jual
minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual
kembali barang (yang dia beli), di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang
tersebut dipindahkan ke tempat mereka masing-masing.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Para
ulama menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya, ketika bank
membeli barang dari dealer dengan harga 10 juta, sementara dia tidak
menerima barang sama sekali, kemudian dia jual ke pembeli seharga 17 juta maka
hakikat transaksi ini adalah menukar rupiah 10 juta dengan 17 juta. Alasan ini
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya
yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan dalam hadis Ibnu Abbas di
atas.
Thawus
mengatakan, “Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Bagaimana kok demikian?’ Beliau
menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham
dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda’.” (Muttafaq 'alaihi)
Ibnu
Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata, “Bila si A
membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan
uang tersebut kepada penjual (si B), sedangkan ia belum menerima bahan makanan
yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada si C seharga 120 dinar dan
ia langsung menerima uang pembayaran tersebut dari C, padahal bahan makanan
yang ia jual masih tetap berada di si B, maka seakan-akan si A telah
menjual/menukar (mengutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120
dinar. Sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya
berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi
perniagaan lainnya pen.).” (Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany 4:348-349).
Berdasarkan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan, dengan kredit segi tiga baik melalui lembaga leasing atau lembaga keuangan, yang biasa dipraktikkan masyarakat, hukumnya terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba. Wallahu'alam..
Berdasarkan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan, dengan kredit segi tiga baik melalui lembaga leasing atau lembaga keuangan, yang biasa dipraktikkan masyarakat, hukumnya terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba. Wallahu'alam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung.... Silahkan memberikan kritikan dan saran untuk perbaikan... ,, ^_^